Meski sering dipandang sebagai teknologi yang objektif dan bebas dari emosi, kecerdasan buatan (AI) pada kenyataannya tidak selalu netral. AI belajar dari data, dan jika data yang digunakan mengandung bias—baik disengaja maupun tidak—maka hasil yang dihasilkan oleh algoritma pun ikut bias. Contohnya, sistem rekrutmen otomatis yang cenderung lebih memilih kandidat dari latar belakang tertentu, atau software pengenalan wajah yang kurang akurat dalam mengenali wajah dari kelompok ras minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa algoritma bukan hanya soal matematika, tetapi juga cerminan dari realitas sosial yang tidak selalu adil.

Bias dalam AI dapat muncul dari berbagai sumber: representasi data yang tidak seimbang, asumsi manusia dalam merancang sistem, atau kurangnya transparansi dalam proses pelatihan model. Akibatnya, keputusan yang dibuat oleh AI bisa memperkuat ketidaksetaraan yang sudah ada, bukannya membantu mengatasinya. Ini menjadi masalah serius ketika AI digunakan dalam bidang sensitif seperti penegakan hukum, perbankan, pendidikan, atau layanan kesehatan. Kepercayaan publik terhadap AI bisa runtuh jika masyarakat merasa teknologi ini memperlakukan mereka secara tidak adil.

Untuk itu, membangun AI yang adil dan etis bukan hanya soal teknologi, melainkan juga tanggung jawab sosial. Dibutuhkan keterlibatan multidisipliner—dari ilmuwan data, etikus, pembuat kebijakan hingga komunitas terdampak—untuk memastikan bahwa sistem yang dibangun tidak mengabaikan keberagaman dan keadilan. AI akan terus berkembang, tetapi tanpa kesadaran kritis terhadap bias data, kecanggihan itu bisa menjadi bumerang. Karena pada akhirnya, teknologi secerdas apa pun tetap merefleksikan nilai-nilai dari mereka yang menciptakannya.