Dunia fiksi ilmiah telah lama memperingatkan tentang kemungkinan gelap dari kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI). Melalui karya-karya seperti 1984, Blade Runner, hingga Black Mirror, kita diperlihatkan gambaran distopia—masa depan yang dikendalikan oleh mesin, diawasi tanpa henti, dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun fiksi, cerita-cerita ini sering kali mencerminkan kekhawatiran nyata: bagaimana jika AI berkembang lebih cepat dari kemampuan manusia untuk mengendalikannya? Bagaimana jika algoritma digunakan untuk memperkuat kontrol sosial, menggantikan moralitas dengan logika dingin, atau mengaburkan batas antara nyata dan buatan?

Yang mengejutkan, banyak elemen dari fiksi ilmiah tersebut kini mulai terasa di dunia nyata. Sistem pengawasan berbasis AI, deepfake yang mengaburkan fakta, hingga algoritma yang membentuk opini publik melalui media sosial, semua menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak mendekati beberapa skenario yang dulu hanya ada dalam imajinasi. Namun, fiksi ilmiah bukan hanya peringatan; ia juga inspirasi. Dari sana muncul kesadaran akan pentingnya etika teknologi, regulasi yang adil, dan perlunya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah lonjakan inovasi. Dengan belajar dari fiksi, kita dapat merancang masa depan teknologi yang lebih bijak—bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengingatkan bahwa kemajuan tanpa arah bisa membawa kita ke tempat yang tidak kita inginkan.